Blogvertise

Support

Klik Disini

Selasa, 09 Juni 2009

Kasus Prita Mulyasari Izin RS Omni Terancam Dicabut


Kasus pemenjaraan Prita Mulyasari hanya gara-gara menulis e-mail pribadi berisi unek-unek terkait pelayanan yang diberikan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, berbuntut kian panjang. Setelah mampu memancing reaksi para kandidat presiden, kasus ini sekarang menjadi pusat perhatian Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Mereka bahkan telah mengusulkan pada pemerintah untuk menyabut izin rumah sakit yang terletak di Alam Sutera, Tangerang, itu.


Pencabutan izin ini merupakan salah satu kesimpulan pertemuan antara Komisi IX dan direksi Rumah Sakit Omni International, Senin (8/6). Dalam forum yang berlangsung mulai pukul 14.00 WIB sampai 16.30 WIB ini, Komisi IX gagal menggunakan otoritasnya untuk meminta pengelola rumah sakit mencabut gugatan terhadap Prita Mulyasari. Komisi juga mengimbau pengelola RS Omni meminta maaf kepada Prita.


Menanggapi rekomendasi dewan, pihak RS Omni International terkesan tak gentar. Mereka menyebutkan, baru bersedia mencabut gugatan terhadap Prita Mulyasari jika Prita menyabut surat elektronik tentang rumah sakit yang pernah dia sebarkan. "Misalnya masih ada tulisan jangan pergi ke dokter Grace dan Henky di google (dua dokter di RS Omni). Kalau dia cabut berita itu, maka kami cabut tuntutan," kata Direktur RS Omni International, Rina Ratna.


Pihak Omni juga secara tegas menyatakan siap dicabut izinnya, jika terbukti bersalah dalam kasus pencemaran nama baik yang didakwakan terhadap Prita Mulyasari. "Kami hormati keputusan dewan. Kami siap dicabut izin jika bersalah," kata kuasa hukum Omni, Heribertus Hartojo, usai rapat dengar pendapat itu.


Pun demikian, Omni berharap ada mediasi dengan Prita. Tetapi, sampai sekarang kesepakatan yang diharapkan itu tak kunjung tercapai. "Dari awal sampai hari ini, yang kami harapkan sebenarnya adalah mediasi. Bagaimana bentuk kesepakatannya, nanti setelah itu," kata Bina Ratna seraya menambahkan, pihaknya berharap ada win-win solution. "Kami juga tidak ingin hal ini terjadi. Kami bersedia apapun bentuknya untuk kepuasan Ibu Prita dan kelegaan di pihak kami."


Anggota Komisi IX, Max Sopacua menilai, kunci tercapainya kesepakatan mediasi pada dasarnya terletak di tangan rumah sakit itu sendiri. "Kami mengingatkan pada RS Omni International agar berhati-hati melangkah karena gejalanya kasus ini sudah masuk ke ranah politik yang tidak dapat diprediksi," kata Max yang dalam kesempatan tersebut sempat mempertanyakan label Internasional rumah sakit Omni. Menurutnya, tindakan yang dilakukan Omni Internasional dinilai tidak sesuai dengan reputasi RS internasional.


"Label Internasional ini dapat dari mana? Karena Depkes saja tidak mengetahui dari mana label internasional pada rumah sakit Omni. Kalau tidak jelas kita tutup saja."


Desakan senada datang dari anggota komisi IX DPR RI lainnya, Tisnawati Karna. "Menteri kesehatan memerintahkan untuk menyambut label internasional. Kalau seizin Depkes pastinya Depkes tidak akan meminta intuk mencabut, saya meminta Omni menjelaskan sejelas-jelasnya," ujarnya.


Bantah Disuap


Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Dondy K Sudirman yang dituding menerima suap dari RS Omni Internasional untuk menahan Prita Mulyasari karena pencemaran nama baik, memberikan bantahan. "Tidak benar, itu fitnah," sebutnya di Kantor Kejati Banten, Serang, kemarin.


Dikemukakan Dondy, tuduhan suap tersebut sangat kejam. Dia menegaskan seluruh jaksa yang terkait pada kasus tersebut tidak ada yang disuap. Apalagi pihak Kejati Banten mempunyai poliklinik sendiri dengan tiga dokter dan satu orang perawat.


Tapi bantahan ini dianggap tak meyakinkan oleh kuasa hukum Prita, Slamet Yuwono. Menurutnya, ada bukti-bukti sahih mengapa tudingan itu muncul. "Pengumuman medical check up dari RS Omni Internasional itu, sempat dipasang di lingkungan kejari namun tidak lama kemudian dicabut kembali. Di dalam pengumuman itu tertera cap dan pejabat di lingkungan kejari. Pengumuman itu saja ditujukan kepada pegawai dan jaksanya, bagaimana dengan pimpinannya," katanya.


Kejaksaan memasukkan Pasal 27 Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke dalam dakwaan Prita Mulyasari, sedangkan ancaman terhadap Prita melalui penyidik kepolisian dikenai Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik. Jaksa yang menangani perkara tersebut, sebut Slamet, diindikasikan sengaja memasukkan ancaman Pasal 27 UU ITE dengan ancaman hukuman enam tahun. Padahal di dalam berkas acara pendapat (BAP) tidak menyebutkan pasal UU ITE melainkan hanya disimpan di sampul BAP-nya saja. Kejanggalan lain, pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tidak ada penahanan. "Namun kenyataannya klien saya ditahan," ujarnya.


Slamet meminta kepada ICW dan KPK untuk turun tangan dalam menangani perkara tersebut. "Walaupun perkara ini ada indikasi suap di bawah Rp 1 miliar, namun ICW dan KPK memiliki kemampuan untuk membuktikan adanya hubungan telepon antara jaksa dengan RS Omni Internasional," pungkasnya.


sumber: harian-global.com

Bookmark this post:
StumpleUpon Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Blinklist Yahoo Furl Technorati Simpy Spurl Reddit Google

21 komentar:

[+/-]Klik untuk tampil/sembunyi komentar

jun3th on 9 Juni 2009 pukul 14.47 mengatakan...

mantap postingannya...I wanna say it's good keyword for this time...hahahahahaha

RanggaGoBloG on 9 Juni 2009 pukul 15.43 mengatakan...

semoga yang benar menemukan jalannya....

Yudie on 9 Juni 2009 pukul 18.47 mengatakan...

makin seru beritanya neh... kita tunggu laporan lengkapnya lagi bro... :):)

ajie on 9 Juni 2009 pukul 22.10 mengatakan...

waduh perangnya makin berkecimpung nih

Dinoe on 10 Juni 2009 pukul 01.08 mengatakan...

makin hangat saja beritanya..moga2 ada penyelesaiannya..dan keadilan kepada yang benar...dukungan buat perjuangan bu Prita...
nice post..

Jeri on 10 Juni 2009 pukul 01.29 mengatakan...

Wah,,, Bs bahaya tuch nasib RS yang bersangkutan kalo ini udah masuk keranah politik.

genialbutuhsomay on 10 Juni 2009 pukul 02.40 mengatakan...

semoga ini jadi yang terakhir.. amien :)

keboaja on 10 Juni 2009 pukul 03.25 mengatakan...

Semakin seru aja ceritanya...

genialbutuhsomay on 10 Juni 2009 pukul 03.54 mengatakan...

terimakasih atas kunjungan baliknya kang... terus juga... semoga kasus ini gk jadi tumpangan politik para tokoh capres dsb....

Anonim mengatakan...

Landasan Hukum Untuk Melawan RS Omni International Alam Sutera

Definisi pelaku usaha di UU No. 8 tahun 1999 tentang Praktek Kesehatan: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Rumah Sakit Omni Internatioonal Alam Sutera (RS OIAS) adalah pelaku usaha karena berbentuk badan hukum, melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah negara RI yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, yaitu kesehatan. Dalam hal munculnya kasus di mana konsumen (Prita) tidak dapat memperoleh hasil rekam mediknya, RS OIAS melanggar kewajibannya sebagai pelaku usaha seperti yang dikatakan pada Pasal 7 huruf b UU No. 8/1999, yaitu “Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.

Konsekuensi RS OIAS dalam kasus ini karena tidak memberikan informasi medis (hasil laboratorium) yang benar pada Prita sehingga berakibat Prita mendapatkan penanganan medis yang salah, yaitu penangan medis untuk demam berdarah padahal Prita tidak sakit demam berdarah, maka RS OIAS patut diduga melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a UU No. 8 tahun 1999.

Pasal 8 UU No. 8 ayat (1) huruf a tahun 1999 berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan”.

Karena melanggar Pasal 8 ini, maka sebagai pelaku usaha penjual jasa RS OIAS dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 61 dan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun bunyi Pasal 61 adalah: “Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya”. Sedangkan Pasal 62 Ayat (1) berbunyi: “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (10 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 M (2 milyar rupiah)”.

Bagaimana mungkin konsumen telah membayar biaya pengobatan seperti yang disodorkan oleh RS OIAS sebagai kompensasi pengobatan kepada konsumen yang pada kenyataannya ada kesalahan laboratorium dan tindakan yang diambil, tidak boleh protes atau berkeluh kesah kepada sesama? Yang kemudian pihak RS OIAS lalu menuntut konsumen yang patut diduga mereka rugikan? Hebat sekali RS OIAS itu.

Kesalahan rekam medik dan penanganan medik sudah sering terjadi di berbagai RS bertaraf International di Indonesia. Namanya saja International tetapi tidak jelas apa yang dimaksud dengan International. Tidak ada dasar hukumnya yang jelas sebuah RS boleh asal pakai kata International. Apa karena bangunannya bagus, berpendingin udara, ada restoran, ada fasilitas pijat refleksi dan pijat lainnya terus boleh menyandang International? Siapa di Departemen Kesehatan yang berwenang memberi kata International dan mengauditnya setiap tahun? Tak jelas itu.

attayaya on 10 Juni 2009 pukul 12.01 mengatakan...

semoga semua berdamai
semoga kebebasan tidak terbelenggu
peace on earth

Unknown on 10 Juni 2009 pukul 15.48 mengatakan...

utk mencabut suatu R mungkin perlu pertimbangan yg matang tp setidaknya jadi pembelajaran buat kita deh...

bunga raya on 10 Juni 2009 pukul 17.25 mengatakan...

aku datang sob apa kabar neh

ellysuryani on 10 Juni 2009 pukul 19.09 mengatakan...

Semoga kasus ini dpt terselesaikajn dengan baik. Dan kasus serupa tidak lagi muncul di kemudian hari. Cuma itu harapan saya.

andro_simar on 10 Juni 2009 pukul 23.24 mengatakan...

smoga aja kasusnya prita cepet selesai ya sob,, :D

genial butuh kehangatan on 11 Juni 2009 pukul 03.54 mengatakan...

berkunjung lagi nii sob... pa kabar?

Andrii on 11 Juni 2009 pukul 03.55 mengatakan...

yupp buku2 yang berasal dari RM Books tentunya di jual mas, berminat? Langsung tlp saya saja mas... terimakasih.

Belajar SEO para Pemula on 11 Juni 2009 pukul 14.11 mengatakan...

Good.. good, postingannya ayo lawan para pengkebiri kebebasan berpendapat, khususnya di internet, bisa2 kita ngeblog juga di penjara, buat anonim juga salut (pasti pakar hukum nih), sebaiknya dimunculkan bos, qt kan butuh penjelasan tentang hukum lebih banyak lagi, agar tidak dikadalin

kontes seo aristia wida rukmi on 11 Juni 2009 pukul 14.29 mengatakan...

Sebaiknya memang RS yang nakal segera ditindak tegas, jangan sampai rakyat yang selau dijadikan korban

cempaka on 25 Juni 2009 pukul 03.11 mengatakan...

nah itu baru setimpal kawan kalau memang kenyataannya begitu.....dengan penderitaan yang bu prita rasakan

Abah on 25 Juni 2009 pukul 03.11 mengatakan...

dukung deh aku karena biar ga terjadi lagi kasus macam ini


[+/-]Show or Hide Comments

Posting Komentar

Silahkan Memberi komentar, saran, kritik, keripik, caci maki dan lainnya. Tapi jangan Permalukan harga diri dengan spam komentar.

 

Copyright 2008 by edylaw blog | themes by One 4 All