Kasus pemenjaraan Prita Mulyasari hanya gara-gara menulis e-mail pribadi berisi unek-unek terkait pelayanan yang diberikan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, berbuntut kian panjang. Setelah mampu memancing reaksi para kandidat presiden, kasus ini sekarang menjadi pusat perhatian Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Mereka bahkan telah mengusulkan pada pemerintah untuk menyabut izin rumah sakit yang terletak di Alam Sutera, Tangerang, itu.
Pencabutan izin ini merupakan salah satu kesimpulan pertemuan antara Komisi IX dan direksi Rumah Sakit Omni International, Senin (8/6). Dalam forum yang berlangsung mulai pukul 14.00 WIB sampai 16.30 WIB ini, Komisi IX gagal menggunakan otoritasnya untuk meminta pengelola rumah sakit mencabut gugatan terhadap Prita Mulyasari. Komisi juga mengimbau pengelola RS Omni meminta maaf kepada Prita.
Menanggapi rekomendasi dewan, pihak RS Omni International terkesan tak gentar. Mereka menyebutkan, baru bersedia mencabut gugatan terhadap Prita Mulyasari jika Prita menyabut surat elektronik tentang rumah sakit yang pernah dia sebarkan. "Misalnya masih ada tulisan jangan pergi ke dokter Grace dan Henky di google (dua dokter di RS Omni). Kalau dia cabut berita itu, maka kami cabut tuntutan," kata Direktur RS Omni International, Rina Ratna.
Pihak Omni juga secara tegas menyatakan siap dicabut izinnya, jika terbukti bersalah dalam kasus pencemaran nama baik yang didakwakan terhadap Prita Mulyasari. "Kami hormati keputusan dewan. Kami siap dicabut izin jika bersalah," kata kuasa hukum Omni, Heribertus Hartojo, usai rapat dengar pendapat itu.
Pun demikian, Omni berharap ada mediasi dengan Prita. Tetapi, sampai sekarang kesepakatan yang diharapkan itu tak kunjung tercapai. "Dari awal sampai hari ini, yang kami harapkan sebenarnya adalah mediasi. Bagaimana bentuk kesepakatannya, nanti setelah itu," kata Bina Ratna seraya menambahkan, pihaknya berharap ada win-win solution. "Kami juga tidak ingin hal ini terjadi. Kami bersedia apapun bentuknya untuk kepuasan Ibu Prita dan kelegaan di pihak kami."
Anggota Komisi IX, Max Sopacua menilai, kunci tercapainya kesepakatan mediasi pada dasarnya terletak di tangan rumah sakit itu sendiri. "Kami mengingatkan pada RS Omni International agar berhati-hati melangkah karena gejalanya kasus ini sudah masuk ke ranah politik yang tidak dapat diprediksi," kata Max yang dalam kesempatan tersebut sempat mempertanyakan label Internasional rumah sakit Omni. Menurutnya, tindakan yang dilakukan Omni Internasional dinilai tidak sesuai dengan reputasi RS internasional.
"Label Internasional ini dapat dari mana? Karena Depkes saja tidak mengetahui dari mana label internasional pada rumah sakit Omni. Kalau tidak jelas kita tutup saja."
Desakan senada datang dari anggota komisi IX DPR RI lainnya, Tisnawati Karna. "Menteri kesehatan memerintahkan untuk menyambut label internasional. Kalau seizin Depkes pastinya Depkes tidak akan meminta intuk mencabut, saya meminta Omni menjelaskan sejelas-jelasnya," ujarnya.
Bantah Disuap
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Dondy K Sudirman yang dituding menerima suap dari RS Omni Internasional untuk menahan Prita Mulyasari karena pencemaran nama baik, memberikan bantahan. "Tidak benar, itu fitnah," sebutnya di Kantor Kejati Banten, Serang, kemarin.
Dikemukakan Dondy, tuduhan suap tersebut sangat kejam. Dia menegaskan seluruh jaksa yang terkait pada kasus tersebut tidak ada yang disuap. Apalagi pihak Kejati Banten mempunyai poliklinik sendiri dengan tiga dokter dan satu orang perawat.
Tapi bantahan ini dianggap tak meyakinkan oleh kuasa hukum Prita, Slamet Yuwono. Menurutnya, ada bukti-bukti sahih mengapa tudingan itu muncul. "Pengumuman medical check up dari RS Omni Internasional itu, sempat dipasang di lingkungan kejari namun tidak lama kemudian dicabut kembali. Di dalam pengumuman itu tertera cap dan pejabat di lingkungan kejari. Pengumuman itu saja ditujukan kepada pegawai dan jaksanya, bagaimana dengan pimpinannya," katanya.
Kejaksaan memasukkan Pasal 27 Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke dalam dakwaan Prita Mulyasari, sedangkan ancaman terhadap Prita melalui penyidik kepolisian dikenai Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik. Jaksa yang menangani perkara tersebut, sebut Slamet, diindikasikan sengaja memasukkan ancaman Pasal 27 UU ITE dengan ancaman hukuman enam tahun. Padahal di dalam berkas acara pendapat (BAP) tidak menyebutkan pasal UU ITE melainkan hanya disimpan di sampul BAP-nya saja. Kejanggalan lain, pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tidak ada penahanan. "Namun kenyataannya klien saya ditahan," ujarnya.
Slamet meminta kepada ICW dan KPK untuk turun tangan dalam menangani perkara tersebut. "Walaupun perkara ini ada indikasi suap di bawah Rp 1 miliar, namun ICW dan KPK memiliki kemampuan untuk membuktikan adanya hubungan telepon antara jaksa dengan RS Omni Internasional," pungkasnya.
sumber: harian-global.com